Jarang Dipeluk Suami, Wanita Hamil Berisiko Cerai
A
A
A
JAKARTA - Sebuah penelitian mengungkapkan, wanita hamil yang jarang mendapatkan pelukan dari suami memicu terjadinya perceraian. Hal ini disebabkan oleh kadar hormon oksitosin yang rendah pada ibu baru atau ibu hamil.
Kesimpulan ini diambil dari sebuah penelitan yang dilakukan di Kanada. Dilansir dari Details, psikolog dari McGill University di Kanada, Dr Jennifer Bartz dan rekannya menggunakan air liur dari 341 wanita hamil dengan tiga masa kehamilan yang berbeda, yaitu trimester pertama, ketiga, juga minggu ketujuh sampai sembilan setelah melahirkan.
Selanjutnya, peneliti menghubungi 188 dari 341 wanita tersebut. Dari angka itu, sebanyak 170 wanita diketahui masih bersama pasangan mereka, 11 wanita dulunya single (saat penelitian dilakukan) dan 7 wanita sudah bercerai dari pasangannya.
Mereka yang mengalami perceraian, memiliki kadar oksitosin yang rendah pada trimester pertama kehamilan, dan juga pada saat mereka baru saja melahirkan. Bartz mengungkapkan, bahwa kadar oksitosin yang rendah pada trimester pertama kehamilan dan minggu-minggu awal setelah melahirkan memicu risiko perpisahan pasangan hingga tujuh dan sembilan kali lipat.
Kadar hormon oksitosin yang tinggi dipercaya bisa membantu wanita lebih terkoneksi dengan janin yang sedang mereka kandung. Setelah melahirkan, kadar oksitosin yang tinggi akan membuat mereka lebih tahan terhadap stres yang dialami. Dengan demikian ini akan mempermudah mereka, menjalankan peranan baru sebagai ibu.
Selain itu, hormon oksitosin yang tinggi juga berguna membuat hubungan antara ibu hamil atau ibu baru tadi lebih baik dan lebih mesra lagi dengan suaminya. Sementara rendahnya hormon oksitosin ibu hamil disebabkan oleh kurangnya dukungan sosial selama kehamilan dari orang-orang terdekat.
Kesimpulan ini diambil dari sebuah penelitan yang dilakukan di Kanada. Dilansir dari Details, psikolog dari McGill University di Kanada, Dr Jennifer Bartz dan rekannya menggunakan air liur dari 341 wanita hamil dengan tiga masa kehamilan yang berbeda, yaitu trimester pertama, ketiga, juga minggu ketujuh sampai sembilan setelah melahirkan.
Selanjutnya, peneliti menghubungi 188 dari 341 wanita tersebut. Dari angka itu, sebanyak 170 wanita diketahui masih bersama pasangan mereka, 11 wanita dulunya single (saat penelitian dilakukan) dan 7 wanita sudah bercerai dari pasangannya.
Mereka yang mengalami perceraian, memiliki kadar oksitosin yang rendah pada trimester pertama kehamilan, dan juga pada saat mereka baru saja melahirkan. Bartz mengungkapkan, bahwa kadar oksitosin yang rendah pada trimester pertama kehamilan dan minggu-minggu awal setelah melahirkan memicu risiko perpisahan pasangan hingga tujuh dan sembilan kali lipat.
Kadar hormon oksitosin yang tinggi dipercaya bisa membantu wanita lebih terkoneksi dengan janin yang sedang mereka kandung. Setelah melahirkan, kadar oksitosin yang tinggi akan membuat mereka lebih tahan terhadap stres yang dialami. Dengan demikian ini akan mempermudah mereka, menjalankan peranan baru sebagai ibu.
Selain itu, hormon oksitosin yang tinggi juga berguna membuat hubungan antara ibu hamil atau ibu baru tadi lebih baik dan lebih mesra lagi dengan suaminya. Sementara rendahnya hormon oksitosin ibu hamil disebabkan oleh kurangnya dukungan sosial selama kehamilan dari orang-orang terdekat.
(alv)